![]() |
by google image |
Menurut Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi Bali I Gusti Made Ngurah, makna dan filosofi kedua sugihan adalah sebagai sarana pembersihan makrokosmos (alam semesta) dan
mikrokosmos (manusia) secara sekala dan niskala.
''Sugihan Jawa merupakan pembersihan secara sekala, sementara Sugihan Bali
merupakan pembersihan secara niskala,'' kata Ngurah.
Menurut Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., Wakil Ketua I
Parisada Bali, makna filosofis hari sugihan tidak bisa
dipisahkan dengan hari lainnya yang masih merupakan rangkaian hari raya
Galungan dan Kuningan. Rangkaian perayaan yang sudah dimulai sejak 25 hari
sebelum Galungan tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Wariga atau yang lebih
dikenal dengan Tumpek Wariga. Pada saat ini umat mengaturkan persembahan kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Sangkara. Dalam
pengider bhuwana letaknya di Pucak Mangu. Umat pada Tumpek Wariga (Tumpek
Pengatag) ini melakukan komunikasi dengan penguasa tumbuh-tumbuhan. Adapun
tumbuh-tumbuhan yang diutamakan adalah yang menghasilkan bahan-bahan yang bisa
digunakan sebagai sesaji persembahan untuk hari raya Galungan dan Kuningan.
Dalam peng-aci-aci-nya, umat memohon dengan jelas kepada penguasa
tumbuh-tumbuhan untuk melimpahkan buah-buahan yang akan digunakan pada saat
Galungan.
Secara filosofi, kata Sudiana yang juga dosen STAHN Denpasar
ini, dari perayaan Tumpek Wariga sesungguhnya umat Hindu diharapkan untuk
mempersiapkan pelaksanaan hari raya Galungan dan Kuningan dengan niat dan
pikiran yang suci. ''Mulai Tumpek Wariga ini umat Hindu menjalani pendakian
spiritualnya untuk menyambut perayaan Galungan dan Kuningan,'' kata Sudiana.
Pendakian spiritual umat Hindu tersebut makin menjalani
tahap yang lebih tinggi saat mendekati hari raya Galungan. Karena itu, pada
Wraspati Wage dan Sukra Kliwon wuku Sungsang yang lebih dikenal dengan Sugihan
Jawa dan Sugihan Bali, umat Hindu mulai melakukan pembersihan-pembersihan di
sejumlah tempat suci.
Sudiana lebih melihat perbedaan Sugihan Jawa dan Sugihan
Bali dari alam yang disucikan. Pada Sugihan Jawa, kata Sudiana, lebih
menekankan pada pembersihan makrokosmos atau alam semesta. Pembersihan ini
secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci
yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Ia mengatakan, dalam istilah Balinya
sering disebut dengan ngererata atau mabulung yakni pekerjaan merabas atau
mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar palinggih,'' kata Sudiana.
Sementara secara niskala juga dilakukan pembersihan dengan
jalan mengaturkan upacara banten pengerebuan dan prayasita sebagai lambang
penyucian. Semua itu diaturkan kepada Ida Batara, para leluhur dan para dewa
yang berstana di masing-masing palinggih atau pura. Diyakini pada saat Sugihan
Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima
persembahan.
Keesekokan harinya, tepatnya Sukra Kliwon wuku Sungsang atau
sering disebut dengan Sugihan Bali, kata Sudiana, merupakan simbol dari pembersihan
alam mikrokosmos. Pada saat ini umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra
yakni dengan pergi ke samudera -- sumber mata air atau bisa di palinggih atau
merajan yang ada di masing-masing rumah. Ia mengatakan, dalam praktik yoga umat
Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulat sarira.
Menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan
menahan diri dari segala macam godaan indria. Hal inilah yang menjadi penekanan
dalam kaitannya pelaksanaan ritual Sugihan Bali.
Dikatakan, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari
konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai gempuran dan godaan
duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. ''Pada kedua sugihan ini,
kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju
pada ketenangan dan kedamaian,'' kata Sudiana.
Kembali pada persoalan sesaji yang biasanya diaturkan pada
saat sugihan. Dalam praktik di beberapa tempat terutama di daerah Denpasar,
banten pangerebuan ini biasanya disertai dengan persembahan ayam, bebek atau
babi guling. Hal ini sebenarnya hanya merupakan bentuk dari tradisi. Apabila
ditinjau dari segi sastra, hal itu tidaklah mutlak. ''Artinya, tradisi ini bisa
diubah, kalau memang keyakinan untuk mengubahnya sudah cukup besar,'' kata
Ngurah seraya menambahkan, apabila umat tidak memiliki keyakinan untuk
mengubahnya, hal tersebut akan tetap dijalankan.
Selain itu, umat Hindu yang merayakan Sugihan Bali berbeda
dengan mereka yang melaksanakan Sugihan Jawa. Perbedaan ini, menurut Sudiana,
semata-mata karena adanya tradisi yang sudah berlaku secara turun-temurun.
Selain itu, juga disesuaikan dengan desa kala patra. ''Adanya perbedaan ini
juga dikaitkan dengan kedatangan Dhanghyang Astapaka dan Dhanghyang Nirarta ke
Bali,'' kata Sudiana. Ia menambahkan, di sinilah sangat berperan metode untuk
meyakinkan umat Hindu di Bali.
Di kalangan umat Hindu juga berkembang pemikiran, bahwa umat
yang melaksanakan Sugihan Jawa adalah umat Hindu yang keturunan Majapahit.
Sementara yang terkait dengan Sugihan Bali adalah mereka yang dari keturunan
Bali asli. Kenyataan ini dibenarkan oleh Ngurah.
Ia mengatakan, adanya pembagian umat Hindu dalam
melaksanakan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali terkait dengan faktor historis.
''Mereka yang dari keturunan Majapahit melaksanakan Sugihan Jawa dan yang asli
Bali melaksanakan Sugihan Bali,'' kata Ngurah.
Namun, kalau dikembalikan kepada makna dan filosofi sugihan
itu, kata Sudiana, hendaknya umat Hindu di Bali melaksanakan kedua sugihan
tersebut. Hanya, perbedaan pada kesemarakkan pelaksanaan dari salah satu
sugihan yang sudah dilakukan secara turun-temurun memang sangat sulit
dihilangkan. Artinya, kebiasaan umat Hindu untuk melaksanakan Sugihan Jawa
dengan mengaturkan upacara pengerebuan misalnya, tetap dijalankan sebagaimana
mestinya.
Adanya perbedaan pelaksanaan masing-masing sugihan oleh dua
kelompok berbeda, menurut Ngurah, adalah bentuk penghargaan terhadap perbedaan
yang ada. Sementara Sudiana memandang hal ini sebagai bentuk betapa luwes dan
fleksibelnya agama Hindu itu sendiri. Yang paling penting tentunya pemahaman
yang mendasar di kalangan umat tentang makna sesungguhnya dari sugihan itu
sendiri.
Demikianlah kutipan makna perayaan Sugihan Bali dan Sugihan Jawa menurut para tokoh Hindu yang pada intinya memiliki kesamaan pengertian. Semoga perbedaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang sering di salah artikan di masyarakat kini bisa lebih diartikan sebagai satu kesatuan yang memiliki tujuan yang sama mulianya yaitu 'proses penyucian'.
Demikianlah kutipan makna perayaan Sugihan Bali dan Sugihan Jawa menurut para tokoh Hindu yang pada intinya memiliki kesamaan pengertian. Semoga perbedaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang sering di salah artikan di masyarakat kini bisa lebih diartikan sebagai satu kesatuan yang memiliki tujuan yang sama mulianya yaitu 'proses penyucian'.
dikutip dari balipost.com
0 komentar:
Posting Komentar